Dunia pendidikan dan pelatihan
(diklat) merupakan dunia yang penuh warna warni. Dunia diklat juga merupakan
dunia yang sangat strategis sehubungan dengan kemajuan sumber daya manusia.
Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan memerlukan penanganan yang serius dan
sungguh-sungguh. Di samping itu, ia juga memerlukan sentuhan-sentuhan kreatif
dan imajinatif yang sejalan dengan “apa adanya” manusia serta “kekinian” zaman.
“Apa adanya” manusia merujuk kepada penanganan diklat yang menyentuh semua
bagian diri manusia yang terdiri atas fisik, pikiran dan hati. Sedangkan
“kekinian” zaman merujuk kepada pendidikan dan pelatihan yang aplikatif dan
mengadaptasikan dirinya terhadap kondisi saat ini, baik dari segi isi, metode
maupun manfaat.
Ada banyak
teori yang dikemukakan para pakar untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan
pelatihan. Salah satu metode yang berusaha mengakomodir kepentingan fisik,
pikiran dan hati manusia sesuai situasi dan kondisi saat ini adalah
metode Joyful Learning (pembelajaran yang menyenangkan).
Apa itu Joyful
Learning?
Joyful
Learning merupakan
metode pembelajaran yang melibatkan rasa senang, bahagia, dan nyaman dari
pihak-pihak yang sedang berada dalam proses belajar mengajar. Di sini terdapat
keterikatan cinta dan kasih sayang antara fasilitator dan peserta diklat maupun
antar peserta diklat. Tak ubahnya seperti ikatan cinta antara sepasang kekasih,
keterikatan hati di dalam proses belajar mengajar akan membuat masing-masing
pihak berusaha memberikan yang terbaik untuk menyenangkan pihak lain.
Fasilitator dengan semangat menggebu-gebu akan berusaha optimal memimpin kelas
dengan cara yang paling menarik, sedangkan peserta dengan antusias dan
berlomba-lomba ikut aktif ambil bagian dalam setiap kegiatan. Dengan demikian,
Joyful Learning menjadi sarana yang membuat fasilitator maupun peserta
diklat menjadi betah menjalani sesi demi sesi pelajaran sehingga hasilnya akan
maksimal.
3 Gaya
Belajar
Dalam metode
joyful learning, pengajar yang merupakan fasilitator mencari bahan-bahan
dan alat-alat pengajaran yang paling menarik perhatian para peserta diklat. Ia
juga menerapkan kegiatan-kegiatan yang dapat membuat kelas menjadi bergerak dan
dinamis. Untuk itu, seorang fasilitator terlebih dahulu perlu memahami
perbedaan gaya belajar peserta diklat.
Secara garis
besar, ada tiga gaya belajar (learning style), yaitu audio, visual dan
kinestetik. Orang yang memiliki gaya belajar audio lebih tertarik dan memahami
pelajaran yang disampaikan dengan suara. Sedangkan orang dengan gaya belajar
visual cenderung lebih mudah dan cepat menerima informasi melalui
penglihatannya, baik berupa tulisan maupun gambar. Selanjutnya, pembelajar
kinestetik sangat senang belajar dengan aktifitas fisik yang langsung
bersentuhan dengan objek yang dipelajari.
Dengan
mempertimbangkan beragamnya gaya belajar tersebut, maka bahan, alat dan
kegiatan yang dipilih melibatkan sebanyak mungkin indera. Hampir mustahil untuk
membagi-bagi kelas peserta berdasarkan perbedaan gaya belajar mereka. Oleh
sebab itu, maka bahan, alat dan kegiatan yang digunakan dikompilasi agar dapat
mengakomodir gaya belajar seluruh peserta diklat. Beberapa saat fasilitator
menyampaikan materi dengan suara. Selain itu ia juga menampilkan tulisan,
gambar atau rekaman video. Di saat yang lain ia mengajak peserta bermain peran,
games atau mengadakan lomba. Tak terkecuali dalam proses ini melakukan
aktivitas-aktivitas yang “heboh” seperti bertepuk tangan, menyanyi, berlari,
dan sebagainya. Semua ini tidak hanya akan membuat kelas menjadi hidup, namun
juga menyalurkan kebutuhan ketiga gaya belajar di atas. Semakin banyak indera
yang terlibat, semakin baik proses penyerapan materi.
Dalam dunia
modern saat ini, tidaklah sulit mencari bahan-bahan maupun games yang
berguna untuk pengajaran. Dengan hanya mengklik beberapa website di
internet ditambah dengan ide-ide segar dan kreatif, seorang fasilitator dapat
memperoleh ribuan bahan dan games siap pakai.
Tidak perlu
khawatir menggunakan games yang biasa dimainkan anak-anak. Bahkan orang
dewasapun butuh bermain. Tak heran jika di banyak tempat kita melihat
orang-orang kantoran sedang asyik main Play Station, Point
Blank, zuma, dan berbagai games lainnya. Mengapa? Karena main game
itu mengasyikkan, bisa membuat orang lupa waktu dan tempat. Begitu juga jika
hal ini diterapkan dalam proses pembelajaran. Bukan hanya menghindarkan
kejenuhan dan rasa kantuk, kegiatan-kegiatan yang “heboh” seperti ini akan
meninggalkan kesan yang lama dalam memori peserta diklat. Tentu saja games
yang dipilih disesuaikan dengan topik yang sedang dibicarakan.
Setelah
selesai melakukan sebuah game atau kegiatan tertentu, fasilitator
kemudian mencari feedback dari peserta. Diskusi tentang refleksi atau
makna dari kegiatan atau game yang telah dimainkan akan merangsang
imajinasi peserta. Berbagai pendapat akan muncul sehingga makin memperkaya
wawasan dan ilmu.
Kegiatan
seperti ini juga dapat menghindarkan fasilitator dari kesan menggurui. Apalagi
mengingat bahwa para peserta diklat adalah orang dewasa yang memiliki banyak
pengetahuan dan pengalaman. Untuk itu, fasilitator membuka kesempatan
sebanyak-banyaknya kepada peserta untuk memberikan pendapat. Menahan diri untuk
tidak “mengajari” mungkin akan sulit. Namun boleh jadi fasilitator akan
terkejut dengan kehebatan dan kepintaran peserta menyelesaikan suatu masalah.
Bahkan pendapat mereka bisa jadi lebih baik dan tepat dengan situasi aktual.
Jika begitu, mengapa menyusahkan diri sendiri untuk menjadi orang paling
pintar?
Keseimbangan
Otak Kiri dan Otak Kanan
Teori
tentang pembagian otak kiri dan otak kanan serta perbedaan fungsi kedua hemisphere
otak tersebut dikemukakan oleh seorang peneliti bernama Roger Sperry. Otak kiri
identik dengan rapi, angka, tulisan, bahasa, hitungan, logika, analitis,
matematis dan sistematis. Proses berpikirnya bersifat logis, sekuensial,
linear, dan rasional. Sedangkan otak kanan identik dengan kreativitas,
persamaan, khayalan, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna serta cenderung
tidak memikirkan hal-hal yang terlalu mendetail. Cara berpikirnya bersifat
acak, tidak teratur, intuitif dan holistik.
Kedua
belahan otak ini penting. Oleh karena itu, pembelajaran yang baik adalah yang
melibatkan keduanya. Mengapa? Karena kedua belahan otak memerlukan aktivitas
yang seimbang untuk menghindari kelelahan. Sistem pembelajaran dengan metode
ceramah, misalnya, lebih banyak merangsang kerja otak kiri. Jika ini
berlangsung selama berjam-jam, maka otak kiri dipaksa melakukan aktivitas yang
berlebihan, sementara otak kanan dibiarkan menganggur. Tidak hanya membuatnya
kelelahan, aktivitas berlebihan memaksa otak kiri agar mengambil nutrisi
makanan berupa oksigen dan glukosa dari otak kanan. Ini mengakibatkan otak
kanan kekurangan nutrisi. Untuk memenuhi kebutuhannya, otak kanan memerintahkan
pemiliknya untuk mendapatkan oksigen dan glukosa dengan aktivitas-aktivitas
tertentu. Alhasil, mulailah sang pemilik otak melakukan aksi mengkhayal atau
melamun, coret-coret, bercanda, dan sebagainya. Ini merupakan konsekwensi dari
pemenuhan kebutuhan otak kanan terhadap nutrisi tadi.
Jika hal itu
terjadi ketika proses pembelajaran sedang berlangsung, sesungguhnya fasilitator
tidak dapat menyalahkan peserta. Sebaliknya, ia sesegera mungkin menerapkan
metode pengajaran yang berbeda untuk mendapatkan kembali semangat dan perhatian
peserta. Mencari aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan oleh otak kanan akan
menjadi solusi yang jitu. Kegiatan yang berhubungan dengan hiburan semisal
menyanyi, pemutaran video klip lucu, bermain peran, games atau lomba
merupakan beberapa alternatif yang dapat digunakan.
Demikian
pula sebaliknya. Proses pembelajaran yang terlalu banyak menstimulasi fungsi
otak kanan akan membuatnya kelelahan. Alih-alih menikmati games yang
dimainkan terus menerus, peserta lebih memilih membaca buku atau modul,
mencatat, diskusi dengan teman tentang pelajaran, dan sebagainya.
Metode Joyful
Learning menyeimbangkan antara fungsi otak kiri dan otak kanan. Seimbang
berarti kedua-duanya diaktifkan. Tidak perlu menunggu hingga salah satu hemisphere
otak mengalami kelelahan seperti contoh di atas. Oleh karena itu, sebelum masuk
kelas seorang fasilitator seyogyanya telah mendisain bahan, alat dan kegiatan
yang diperhitungkan dapat merangsang kerja otak kiri dan kanan di sepanjang
pertemuan.
Satu
aktivitas bisa jadi dapat mengaktifkan otak kiri dan otak kanan sekaligus dalam
waktu yang bersamaan. Misalnya, pemutaran video yang disertai dengan ilustrasi
dan penjelasan detil tentang suatu masalah. Atau memberi tugas hitungan (pajak,
bea masuk atau cukai, misalnya) dengan bermain peran, dimana setting tempat
dibuat sama seperti di kantor. Termasuk juga menghapal rumus melalui lagu atau
dengan memainkan game tertentu, lalu mendiskusikannya.
Untuk
keperluan ini, seluruh bagian dalam ruangan kelas bisa dimanfaatkan. Dinding
kelas dapat ditempeli kertas yang berisi tulisan-tulisan maupun gambar-gambar
warna warni yang berhubungan dengan pelajaran dan motivasi. Meja-kursi dapat
dipindah-pindah untuk melakukan aktivitas tertentu dan untuk menghindari
kejenuhan. Pendeknya, mengoptimalkan fungsi kedua bagian otak.
Pentingnya Memuji
Banyak teori
pendidikan yang menyatakan bahwa materi pelajaran akan tahan lama dalam ingatan
ketika proses pembelajaran dikaitkan dengan emosi positif yang kuat. Disebutkan
pula bahwa stres, kebosanan, kebingungan, motivasi rendah dan kecemasan dapat
mengganggu proses belajar.
Metode joyful
learning menciptakan suasana yang segar dan jauh dari perasaan tertekan.
Dengan kepiawaiannya, fasilitator menghadirkan kegembiraan dalam proses
pembelajaran. Ia dan para peserta saling support dan saling transfer
energi positif.
Satu hal
yang dapat memberi efek positif kuat dalam emosi seseorang adalah pemberian
pujian. Secara naluriah, orang senang dipuji. Pujian dapat membuat orang merasa
bangga terhadap dirinya. Pujian juga dapat menimbulkan dan meningkatkan rasa
percaya diri. Akibatnya orang tersebut akan termotivasi untuk melakukan suatu
pekerjaan dengan lebih baik.
Selain itu,
pujian fasilitator terhadap peserta diklat dapat menimbulkan rasa suka dan
kedekatan. Rasa suka menjadi pintu gerbang yang sangat baik untuk memunculkan
rasa percaya dan loyalitas. Dengan modal ini, seorang fasilitator akan lebih
mudah melakukan persuasi dan kontrol terhadap peserta.
Pujian yang
baik adalah pujian dengan cara yang benar, yakni apa adanya alias tidak
mengada-ada dan dilakukan dengan tulus. Tidak perlu berlebih-lebihan, namun
juga tidak “pelit” pujian. Ini dapat dilakukan di sepanjang proses pembelajaran
dengan berbagai bentuk seperti acungan jempol, tepuk tangan, atau ungkapan
“bagus, hebat, cerdas”. Intinya adalah memberikan dukungan emosional terhadap
apa yang telah dilakukan oleh peserta, sekecil apapun, sehingga ia merasa
dihargai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar