A.
Model Problem Based Learning ( PBL )
sumber: pribadi
Model pembelajaran berbasis masalah
dikembangkan oleh Barrows sejak tahun
1970-an. Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pendidikan dimana masalah adalah sebagai
titik awal dari proses
pembelajaran. Sebagaimana yang diungkapkan
Vleuten, Norman, dan Graaff (dalam Graaff dan Anette, 2003:2) berikut ini.sumber: pribadi
Problem-based
learning is an educational approach whereby the problem is the starting point
of the learning process.
Problem
Based Learning (PBL) atau pembelajaran berbasis
masalah adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai
fokus untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, materi, dan
pengaturan diri (Hmelo-Silver, 2004; Serafino & Cicchelli, 2005 dalam Eggen
& Kauchak, 2012: 307). Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan
pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang siswa
untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, siswa
bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world) (Major
dan Palmer, 2001:1).
Sementara itu, Duch (1995:1) berpendapat bahwa pembelajaran berbasis masalah
merupakan suatu model pembelajaran yang menantang siswa untuk belajar bagaimana
belajar, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan
dunia nyata.
Lebih lanjut
ditegaskan Sriyono (1991: 118) Problem
Based Learning ( PBL )
ini menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu
konteks untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan
masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi
pelajaran. Model pembelajaran berbasis masalah menuntut kemampuan untuk melihat
sebab akibat, mengobservasi masalah, mencari hubungan antara berbagai data yang
terkumpul kemudian menarik kesimpulan yang merupakan hasil pemecahan masalah. Menurut Sanjaya
(2007:214), masalah dalam model pembelajaran berbasis masalah adalah yang
bersifat terbuka. Artinya jawaban dari masalah tersebut belum pasti. Setiap
siswa, bahkan guru, dapat mengembangkan kemungkinan jawaban. Dengan demikian,
model pembelajaran berbasis masalah memberikan kesempatan pada siswa untuk
bereksplorasi, mengumpulkan dan menganalisis data secara lengkap untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.
Menurut
Pannen, P; D.Mustafa dan M.Sekarwinahyu (2005: 88) model pembelajaran
berbasis masalah memiliki 5 asumsi utama
yaitu :
1). Permasalahan sebagai
pemandu.
Permasalahan
menjadi acuan yang harus menjadi perhatian siswa. Bacaan diberikan sejalan
dengan permasalahan. Siswa ditugaskan
untuk membaca dengan selalu mengacu pada permasalahan. Permasalahan
menjadi kerangka pikir dalam mengerjakan tugas.
2). Permasalahan
sebagai kesatuan.
Permasalahan
diberikan kepada siswa setelah tugas-tugas dan penjelsan diberikan. Tujuannya memberikan kesempatan pada siswa
untuk menerapkan pengetahuan yang sudah diperolehnya dalam pemecahan masalah.
3). Permasalahan sebagai
contoh.
Permasalahan merupakan salah satu contoh dan bagian dari
bahan pelajaran siswa. Permasalahan digunakan untuk menggambarkan teori, konsep,
atau prinsip dan dibahas dalam diskusi kelompok.
4). Permasalahan
sebagai sarana yang memfasilitasi terjadinya proses.
Permasalahan menjadi alat untuk melatih siswa dalam
bernalar dan berfikir kritis.
5). Permasalahan sebagai stimulus dalam aktivitas belajar.
Fokusnya pada pengembangan keterampilan pemecahan masalah
dari kasus-kasus serupa. Keterampilan
tidak diajarkan oleh guru, tetapi ditemukan dan dikembangkan sendiri oleh siswa
melalui aktivitas pemecahan masalah.
Keterampilan dimaksudkan meliputi keterampilan fisik. keterampilan data
dan menganalisis data yang berkaitan dengan permasalahan, dan ketermpilan
metakognitif.
Masalah
yang dihadapkan kepada siswa itu hendaklah :
1) Jelas, bersih dari kesalahan dan tidak memiliki dua
pengertian yang berbeda.
2) Sesuai dengan kemampuan anak, tidak terlalu mudah dan
juga tidak terlalu sulit sehingga tidak bisa dipecahkan oleh para siswa.
3) Menarik
minat anak.
4) Sesuai dengan pelajaran anak di waktu yang lalu, sekarang
maupun dimasa mendatang.
5)
Praktis
dalam arti mungkin dijumpai dalam kehidupan sehari-hari Sriyono
(1991:119).
Ngalimun (2014:89-90) mengungkapkan
karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh Problem Based Learning (PBL).
1)
Belajar dimulai dengan
suatu masalah.
2)
Memastikan bahwa
masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa.
3)
Mengorganisasikan
pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu.
4)
Memberikan tanggung
jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung
proses belajar meraka sendiri.
5)
Menggunakan kelompok
kecil.
6)
Menuntut siswa untuk
mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau
kinerja.
Eggen
& Kauchak (2012:
307-308) berpendapat karakteristik
yang dimiliki oleh Problem Based
Learning (PBL) ini penting dan
menuntut keterampilan serta pertimbangan yang sangat profesional untuk
memastikan kesuksesan pembelajaran berbasis masalah. Jika tidak cukup diberikan
bimbingan dan dukungan, siswa akan gagal, membuang waktu, dan mungkin memiliki
konsepsi keliru. Namun jika terlalu banyak diberikan bimbingan dan dukungan, siswa
tidak akan mendapatkan banyak pengalaman pemecahan masalah. Menarik garis batas
di tempat yang tepat menuntut pertimbangan profesional yang cermat (Eggen &
Kauchak, 2012: 307-308).
Fase 1: Mengorientasikan
Siswa pada Masalah
Pembelajaran
dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang
akan dilakukan. Dalam penggunaan Problem
Based Learning (PBL), tahapan ini sangat penting dimana guru harus menjelaskan dengan
rinci apa yang harus dilakukan oleh siswa dan juga oleh guru. Di samping proses yang akan berlangsung,
sangat penting juga dijelaskan bagaimana guru akan mengevaluasi proses
pembelajaran. Hal ini sangat penting
untuk memberikan motivasi agar siswa dapat engage
dalam pembelajaran yang akan dilakukan.
Sutrisno
(dalam Ngalimun, 2014: 96) menekankan empat hal penting pada proses ini, yaitu :
1.
Tujuan utama pembelajaran ini
tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada
belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi siswa
yang mandiri.
2.
Permasalahan dan pertanyaan
yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar”, sebuah masalah yang
rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan.
3.
Selama tahap penyelidikan
(dalam pembelajaran ini), siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan
mencari informasi, guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu,
tetapi siswa harus berusaha untuk bekerja mandiri atau dengan temannya.
4.
Selama tahap analisis dan
penjelasan, siswa akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan
penuh kebebasan, tidak ada ide yang akan ditertawakan oleh guru atau teman
sekelas, semua siswa diberi ide-ide mereka.
Fase 2: Mengorganisasikan
Siswa untuk Belajar
Selain
mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, Problem Based Learning (PBL)
juga mendorong siswa untuk berkolaborasi.
Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing
antaranggota. Oleh sebab itu, guru dapat
memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana
masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam
pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya
interaksi antaranggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan
sebagainya. Guru sangat penting
memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja
dan dinamika kelompok selama pembelajaran.
Setelah siswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk
kelompok belajar selanjutnya guru dan siswa menetapkan subtopik-subtopik yang
spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal.
Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua siswa
aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil
penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan
tersebut.
Fase 3: Membantu Penyelidikan
Mandiri dan Kelompok
Penyelidikan adalah inti dari Problem Based Learning (PBL). Meskipun setiap
situasi permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, tetapi pada
umumnya tentu melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan
eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan
aspek yang sangat penting. Pada tahap
ini, guru harus mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan
eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi
situasi permasalahan. Tujuannya adalah
agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide
mereka sendiri. Pada fase ini seharusnya
lebih dari sekedar membaca tentang masalah-masalah dalam buku-buku. Guru membantu siswa untuk mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan
pertanyaan pada siswa untuk beripikir tentang masalah dan ragam informasi yang
dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.
Setelah siswa mengumpulkan cukup data dan memberikan
permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai
menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru
mendorong siswa untuk menyampaikan semua ide-idenya dan menerima secara penuh
ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat siswa berfikir
tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas
informasi yang dikumpulkan.
Pertanyaan-pertanyaan berikut kiranya cukup memadai untuk membangkitkan
semangat penyelidikan bagi siswa. ”Apa
yang Anda butuhkan agar Anda yakin bahwa pemecahan dengan cara Anda adalah yang
terbaik?” atau ”apa yang dapat Anda lakukan untuk menguji kelayakan
pemecahanmu?” atau ”apakah ada solusi lain yang dapat Anda usulkan?”. Oleh karena itu, selama fase ini, guru harus
menyediakan bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu aktivitas siswa dalam
kegaitan penyelidikan.
Fase
4: Mengembangkan dan Menyajikan Artefak (Hasil Karya) dan Memamerkannya
Tahap
penyelidikan diikuti dengan menciptakan artefak (hasil karya) dan pameran. Artefak lebih dari sekedar laporan tertulis,
tetapi bisa suatu videotape
(menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan
secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan
sajian multimedia. Tentunya kecanggihan
artefak sangat dipengaruhi tingkat berfikir siswa. Langkah selanjutnya adalah memamerkan hasil
karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika
dalam pemeran ini melibatkan siswa-siswa lainnya, guru-guru, orangtua, dan
lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.
Fase 5: Analisis dan
Evaluasi Proses Pemecahan Masalah
Fase
ini merupakan tahap akhir dalam Problem Based Learning (PBL). Fase ini dimaksudkan untuk membantu siswa
menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan keterampilan
penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru meminta
siswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama
proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka
pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan
tertentu? Mengapa mereka dapat menerima
penjelasan lebih siap dibanding yang lain?
Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir
dari mereka? Apakah mereka berubah
pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara berbeda
di waktu yang akan datang? Tentunya
masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik
dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBL untuk pengajaran.
Kekuatan model pembelajaran berbasis masalah:
1) Fokus pada kebermaknaan, bukan fakta (deep versus
surface learning)
Dalam pembelajaran tradisional, siswa diharuskan mengingat banyak sekali
informasi dan kemudian mengeluarkan ingatannya dalam ujian. Informasi yang sedemikian banyak yang harus
diingat siswa dalam proses belajar setelah proses pembelajaran selesai. Pembelajaran berbasis masalah semata-mata
tidak menyajikan informasi untuk diingat siswa.
Jika pembelajaran berbasis masalah menyajikan informasi, maka informasi
tersebut harus digunakan dalam pemecahan masalah, sehingga terjadi proses
kebermaknaan terhadap informasi.
2) Meningkatkan kemampuan siswa untuk berinisiatif
Penerapan pembelajaran berbasis masalah membiasakan siswa
untuk berinisiatif, sehingga pada akhirnya kemampuan tersebut akan meningkat.
3)
Pengembangan
keterampilan dan pengetahuan
Pembelajaran
berbasis masalah memberikan makna yang lebih, contoh nyata penerapan, dan
manfaat yang jelas dari materi pembelajaran (fakta, konsep, prinsip,
produser). Semakin tinggi tingkat
kompleksitas permasalahan, semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan siswa yang dituntut untuk mampu memecahkan masalah.
4)
Pengembangan
keterampilan interpersonal dan dinamika kelompok
Keterampilan interaksi sosial merupakan keterampilan yang
amat diperlukan siswa di dalam proses pembelajaran maupun dalam kehidupan
sehari-hari.
5)
Pengembangan sikap “Self-Motivated”
Pembelajaran
berbasis masalah yang memberikan kebebasan untuk siswa bereksplorasi bersama
siswa lain dalam bimbingan guru merupakan proses pembelajaran yang disenangi
siswa. Dengan situasi belajar yang
menyenangkan, siswa dengan sendirinya termotivasi untuk belajar terus.
6)
Tumbuhnya hubungan
siswa-fasilitator
Hubungan
siswa-fasilitator yang terjadi dalam pembelajaran berbasis masalah pada
akhirnya dapat menjadi lebih menyenangkan bagi guru maupun siswa.
7)
Jenjang pencapaian
pembelajaran dapat ditingkatkan
Proses
pembelajaran menggunakan pembelajaran berbasis masalah dapat menghasilkan pencapaian siswa dalam
penguasaan materi yang sama luas dan sama dalamnya dengan pembelajaran tradisional. Belum lagi, keragaman keterampilan dan
kebermaknaan yang dapat dicapai oleh siswa merupakan nilai tambah pemanfaatan
pembelajaran berbasis masalah (Pannen, P; D.Mustafa dan M.Sekarwinahyu ; 2005 :
99).
Menurut Dasna & Sutrisna, (2010: 4) Problem Based Learning ( PBL ) sebaiknya digunakan
dalam pembelajaran karena memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut :
1)
Dengan Problem Based Learning ( PBL ) akan terjadi
pembelajaran bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka
akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui
pengetahuan yang diperlukan. Artinya
belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat
diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan;
2)
Dalam situasi Problem Based Learning ( PBL ), siswa
mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan
mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan.
Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi
teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka
akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung; dan
3)
Problem Based Learning ( PBL ) dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa/mahasiswa
dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan
hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar