Minggu, 09 November 2014

BIOLOGI KELAUTAN ( zona Intertidal)



 

I. PENDAHULUAN
 1.1  Latar Belakang

Zona intertidal adalah zona littoral yang secara reguler terkena pasang surut air laut, tingginya adalah dari pasang tertinggi hingga pasang terendah.  Didalam wilayah intertidal terbentuk banyak tebing-tebing, cerukan, dan gua yang merupakan habitat yang sangat mengakomodasi organisme sedimenter.  Morfologi di zona intertidal ini mencakup tebing berbatu, pantai pasir, dan tanah basah / wetlands.
Keragaman faktor lingkungannya dapat dilihat dari perbedaan (gradient) dari faktor lingkungan secara fisik mempengaruhi terbentuknya tipe atau karakteristik komunitas biota serta habitatnya. Sejumlah besar gradien ekologi dapat terlihat pada wilayah intertidal yang dapat berupa daerah pantai berpasir, berbatu maupun estuari dengan substrat berlumpur. Perbedaan pada seluruh tipe pantai ini dapat dipahami melalui parameter fisika dan biologi lingkungan yang dipusatkan pada perubahan utamanya serta hubungan antara komponen biotik (parameter fisika-kimia lingkungan) dan komponen abiotik (seluruh komponen makhluk atau organisme) yang berasosiasi di dalamnya. Dari keragaman faktor tersebut maka dibutuhkan suatu adaptasi khusus yang harus dimiliki oleh biota yang berada pada daerah intertidal untuk dapat terus bertahan dalam kondisi lingkungan yang cukup ekstrim dimana beberapa parameter lingkungan seperti suhu, salinitas, kadar oksigen, dan habitat dapat berubah secara signifikan.
Dalam bidang ekologi, adaptasi berarti suatu proses evolusi yang menyebabkan organisme mampu hidup lebih baik dibawah kondisi lingkungan tertentu dan sifat genetik yang membuat organisme menjadi lebih mampu untuk bertahan hidup.
Organisme yang terdapat pada zona intertidal ini telah beradaptasi terhadap lingkungan yang ekstrim. Pasokan air secara reguler tercukupi dari pasang-surut air laut, namun air yang didapat bervariasi dari air salin dari laut, air tawar dari hujan, hingga garam kering yang tertinggal dari inundasi pasang surut, membuat biota yang berada di zona ini harus beradaptasi dengan kondisi salinitas yang variatif. Suhu di zona intertidal bervariasi, dari suhu yang panas menyengat saat wilayah terekspos sinar matahari langsung, hingga suhu yang amat rendah saat iklim dingin. Zona intertidal memiliki kekayaan nutrien yang tinggi dari laut yang dibawa oleh ombak.

1.2  Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada makalah ini yaitu :
1. Apakah pengertian dari zona intertidal ?
2. Bagaimanakah ekologi zona intertidal ?
3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi kondisi lingkungan zona intertidal?

1.3  Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini yaitu :
1.    Untuk mengetahui pengertian dari zona intertidal.
2.    Untuk mengetahui ekologi zona intertidal.
3.    Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan zona intertidal.


 


II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Zona Intertidal
Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang tiap saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik lautan yakni pasang surut. Menurut Nybakken (1992) zona intertidal merupakan daerah yang paling sempit diantara zona laut yang lainnya. Zona intertidal dimulai dari pasang tertinggi sampai pada surut terendah. Zona ini hanya terdapat pada daerah pulau atau daratan yang luas dengan pantai yang landai. Semakin landai pantainya, maka zona intertidalnya semakin luas, sebaliknya semakin terjal pantainya maka zona intertidalnya akan semakin sempit.
Zona intertidal adalah daerah yang langsung berbatasan dengan daratan. Radiasi matahari, variasi temperature dan salinitas mempunyai pengaruh yang lebih berarti untuk daerah ini dibandingkan dengan daerah laut lainnya. Biota yang hidup di daerah ini antara lain : ganggang yang hidup sebagai bentos, teripang, binatang laut, udang, kepiting, cacing laut. Pada tiap zona intertidal terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara satu daerah dengan daerah lainnya. Jenis substrat daerah intertidal ada yang berpasir adapula yang berbatu. Hal lain yang dapat dilihat yakni pembagian zona juga dapat dilihat dari pasang surutnya dan organismenya.

2.2 Ekologi Zona Intertidal

Susunan faktor-faktor lingkungan dan kisaran yang dijumpai di zona intertidal  sebagian disebabkan zona ini berada di udara terbuka selama waktu tertentu dalam setahun. Kebanyakan faktor menunjukkan kisaran yang lebih besar di udara daripada di air.
Secara umum daerah intertidal sangat dipengaruhi oleh pola pasang dan surutnya air laut, sehingga dapat dibedakan menjadi tiga zona yaitu :
a. Zona Pertama
Zona pertama merupakan daerah di atas pasang tertinggi dari garis laut yang hanya mendapatkan siraman air laut dari hempasan riak gelombang  dan ombak yang menerpa daerah tersebut backshore (supratidal).
b. Zona Kedua
Zona kedua merupakan batas antara surut terendah dan pasang tertinggi dari garis permukaan laut (intertidal).
c. Zona Ketiga
Zona ketiga adalah batas bawah dari surut terendah garis permukaan laut  (subtidal).

Secara umum kita dapat membagi tipe-tipe pantai berdasarkan material/substrat penyusun dasar perairan, antara lain:
1.    Tipe pantai berbatu
Pantai ini terbentuk dari batu granit dari berbagai ukuran tempat ombak pecah. Umumnya pantai berbatu terdapat bersama-sama atau berseling dengan pantai berdinding batu. Kawasan ini paling padat makroorganismenya, dan mempunyai keragaman fauna maupun flora yang paling besar. Tipe pantai ini banyaak ditemui di selatan jawa, nusa tenggara, dan Maluku.
2.    Tipe pantai berpasir
Pantai ini dapat ditemui didaerah yang jauh dari pengaruh sungai besar, atau dipulau kecil yang terpencil. Makroorganisme yang hidup disini tidak sepadat dikawasan pantai berbatu karena kondisi lingkungan organisme yang ada cenderung menguburkan dirinya kedalam substrat. Kawasan ini lebih banyak dimanfaatkan manusia untuk berbagai aktivitas reaksi.
3.    Tipe pantai berlumpur
Perbedaan antara tipe pantai ini dengan tipe pantai sebelumya terletak pada ukuran butiran sedimen (substrat). Tipe pantai berlumpur mempunyai ukuran butiran yang paling halus. Pantai berlumpur terbentuk disekitar muara-muara sungai, dan umumnya berasosiasi dengan estuaria. Tebal endapan lumpurnya dapat mencapai 1 meter atau lebih. Pada pantai berlumpur yang amat lembek sedikit fauna yang hidup disana. Perbedaan yang lain adalah gelombang yang tiba dipantai dimana aktifitas gelombangnya sangat kecil, sedangkan untuk pantai yang lain kebalikannya.

Sebagai akibat adanya perubahan kondisi padang dan kondisi surut air laut dan akibat aktifitas ombak pantai, menyebabkan kondisi fisik pantai akan selalu berubah baik secara temporal maupun spasial. Perubahan secara temporal membuat kondisi fisik pantai akan berbeda dalam rentang waktu jam, hari, bulan maupun tahun. Perubahan secara spasial membuat kondisi fisik dapat berubah-ubah pada berbagai tempat sekalipun jaraknya cukup berdekatan.

 2.3  Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kondisi Lingkungan Zona Intertidal

Menurut Prajitno (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan zona intertidal antara lain :
a.     Pasang surut
Pasang surut yaitu naik turunnya permukaan air laut secara periodik selama interval waktu tertentu. Pasang surut merupakan faktor lingkungan paling penting yang mempengaruhi kehidupan di zona intertidal. Tanpa adanya pasang surut secara periodik zona ini tidak berarti dan faktor lain akan kehilangan pengaruhnya. Penyebab terjadinya pasang surut dan kisaran berbeda sangat kompleks dan berhubungan dengan interaksi tenaga penggerak pasang surut, matahari, bulan, rotasi bumi, dan geomorfologi samudra.
b.    Suhu
Suhu mempengaruhi zona intertidal selama harian/musiman. Kisaran ini dapat melebihi batas toleransi.
c.     Perubahan salinitas
Perubahan salinitas yang dapat mempengaruhi organisme terjadi di zona intertidal melalui dua cara. Pertama, karena zona intertidal terbuka pada saat pasang turun kemudian digenangi air atau aliran air akibat hujan lebat, salinitas yang turun. Kedua, ada hubungannya dengan genangan pasang surut, yaitu daerah yang menamoung air laut ketika pasang turun.
d.    Gelombang
Gelombang merupakan parameter utama dalam proses erosi atau sedimentsi. Besarnya erosi tergantung pada besarnya energi dihempaskan oleh gelombang.
Gelombang/ombak dibagi menjadi 2 macam yaitu ombak terjun dan ombak landai. Ombak terjun biasanya terlihat di pantai yang lautnya terjal, ombak ini menggulung tinggi kemudian jatuh dengan bunyi yang keras dan bergemuruh. Sedangkan ombak landai terbentuk di pantai yang dasar lautnya di landai, sehingga bergulung ke pantai agak jauh sebelum pecah.

e.    Faktor-faktor lain
Adanya substrat yang berbeda-beda yaitu pasir, batu dan lumpur menyebabkan perbedaan fauna dan struktur komunitas dari daerah intertidal.
Mungkin faktor tunggal yang paling penting yang memodifikasi ketinggian di zona tertentu dipantau dari sifat organisme hidup terhadap tingkat penjagaan terhadap aksi gelombang. Sebagaimana telah disebutkan di atas ada berbagai faktor pasang surut seperti waktu makan terbatas untuk organisme pemakan suspensi, pengeringan dan suhu ekstrim yang cenderung untuk membatasi distribusi ke atas yaitu ke litoral. Selain itu gelombang beroperasi di arah sebaliknya dan cenderung untuk melembabkan tingkat atas baik oleh gelombang splash atau semprot dengan demikian akan bertambah periode perandaman yang efektif memungkinkan suatu distribusi perluasan organisme intertidal ke atas (Nyabakken, 1992).

2.4 Biota pada Zona Intertidal
 
Menurut Nyabakken (1988), Dilingkungan laut khususnya di intertidal. Spesies yang berumur panjang cenderung terdiri dari berbagai hewan invertebrata. Hewan-hewan intertidal dominan yang menguasi ruang selain Mytilus californianus  yang terdapat dalam jumlah banyak dipesisir pasifik adalah teritip Balanus cariogus dan Balanus glandula. Dua spesies tersebut terdapat melimpah di wilayah intertidal walaupun kenyataanya mereka bersaing dengan  Mytilus californianus  hal ini menyebabkan pertumbuhan teritip dapat berlangsung dengan baik. Pisaster Ochraceus merupakan predator kerang yang rakus sehingga secara efektif mencegah kerang menempati seluruh ruang.
Pantai yang terdiri dari batu-batuan merupakan tempat yang sangat baik bagi hewan-hewan atau tumbuha-tumbuhan yang dapat menempelkan diri pada lapisan ini. Golongan ini termasuk banyak jenis gastropoda, molusca, dan tumbuhan-tumbuhan yang berukuran besar. Dua spesies Uttorina undulata dan Tectarius malaccensis, tinggal dan hidup di bagian batas atas dari pantai dibawahnya berturut-turut di tempati oleh jenis spesies lain Monodonta labio dan Nerita undata. Kemudian oleh Cerithium molrus dan Turbo intercostalis. Akhirnya pada batas yang paling bawah terdapat lambis-lambis dan Trochus gibberula (Hutabarat, 2008).

2.5 Pola Adaptasi Organisme Intertidal
        
Bentuk adaptasi adalah mencakup adaptasi struktural, adaptasi fisiologi dan adaptasi tingkah laku. Adaptasi structural merupakan cara hidup untuk menyesuaikan dirinya dengan mengembangkan struktur tubuh atau lat tubuh kearah yang lebih sesuai dengan keadaan lingkungan dan keperluan hidup.
Adaptasi fisiologi adalah cara makhluk hidup menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara penyelesaiaan proses-proses fisiologis dalam tubuhnya.
Adaptasi tingkah laku adalah respon-respon hewan terhadap kondisi lingkungan dalam bentuk perubahan prilaku.
Organisme intertidal memiliki kemampuan adaptasi dengan kondisi lingkungan yang dapat berubah secara signifikan, pola tersebut meliputi :
a.     Daya tahan terhadap kehilangan air
Organisme laut berpindah dari air keudara terbuka, mereka mulai kehilangan air. Mekanisme yang sederhana untuk menghindari kehilangan air terlihat pada hewan-hewan yang bergerak seperti kepiting dan anemon.
b.    Pemeliharaan keseimbangan panas
Organisme intertidal juga mengalami keterbukaan terhadap suhu panas dan dingin yang ekstrim dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktur tubuh untuk menjaga keseimbangan panas internal.
c.     Tekanan Mekanik
Gerakan ombak mempunyai pengaruh yang berbeda, pada pantai berbatu dan pada pantai berpasir. Untuk mempertahankan posisi menghadapi gerakan ombak, organisme intertidal telah membentuk beberapa adaptasi.
d.    Pernapasan
Diantara hewan intertidal terdapat kecendrungan organ pernapasan yang mempunyai tonjolan kedalam rongga perlindungan untuk mencegah kekeringan. Hal ini dapat terlihat jelas pada berbagai molusca dimana insang terdapat pada rongga mantel yang dilindungii cangkang.
e.     Cara makan
Pada waktu makan, seluruh hewan intertidal harus mengeluarkan bagian-bagian berdaging dari tubuhnya. Karena itu seluruh hewan intertidal hanya aktif jika pasang naik dan tubuhnya terendam air. Hal ini berlaku bagi seluruh hewan baik pemakan tumbuhan, pemakan bahan-bahan tersaring, pemakan detritus maupun predator.
f.     Tekanan Salinitas
Zona intertidal juga mendapat limpahan air tawar yang dapat menimbulkan masalah tekanan osmotik bagi organisme intertidal yang hanya dapat menyesuaikan diri dengan air laut. Kebanayakan tidak mempunyai mekanisme untuk mengontrol kadar garam cairan tubuhnya dan disebut osmokonformer. Adaptasi satu-satunya sama dengan adaptasi untuk melindungi dari kekeringan.


g.    Reproduksi
Kebanyakan organisme intertidal hidup menetap atau bahkan melekat, sehingga dalam penyebarannya mereka menghasilkan telur atau larva yang terapung bebas sebagai plankton. Hampir semua organisme mempunyai daur perkembangbiakan yang seirama dengan munculnya arus pasang surut tertentu, seperti misalnya pada saat pasang purnama.
Seperti telah dijelaskan diatas bahwa daerah intertidal merupakan daerah yang memiliki variasi pasang-surut yang regular, dimna di daerah tersebut pada suatu waktu terendam oleh air laut dan pada awaktu yang lain akan surut dan terpapar ke udara bebas. Hal ini menjadikan daerah tersebut memiliki salinitas dan suhu yang cukup bervariasi, dan juga perubahan habitat saat terendam dan saat surut, sehingga dibutuhkan suatu strategi adaptasi untuk dapat terus bertahan hidup. Adaptasi yang dilakukan oleh kerang di daerah mangrove seperti Polymesoda erosa, P.coaxans dan jenis lainnya biasanya meliputi adaptasi morfologi, fisilogi, dan tingkah laku. Sebagai contoh, Polymesoda coaxans seperti halnya hewan dari kelas Bivalvea lainnya mempunyai kemampuan hidup di daerah intertidal karena memiliki kemampuan untuk mencegah kehilangan air. Kerang akan menutup rapat cangkangnya yang kedap air, sehingga air tidak keluar dari tubuhnya Muslih (2008). Kerang ini juga mempunyai kemampuan untuk membenamkan diri ke dalam substrat sebagai upaya mengindarkan diri dari predator dan untuk mencari tempat yang lebih lembab.
Nybakken et al (1988) menyatakan bahwa beberapa jenis kerang, seperti Donax sp. dan Mytilus edulis, mempunyai kemampuan hidup di daerah intertidal karena mempunyai kemampuan untuk mencegah kehilangan air dengan cara membenamkan diri. Pada P. coaxans korelasi ini terdapat pada ukuran lebar dan tebal cangkang dengan habitat hidupnya. P. coaxans yang hidup pada tempat terbuka memiliki ukuran lebar dan tebal cangkang yang lebih besar dibandingkan dengan P. coaxans yang hidup pada tempat tertutup, dari hal tersebut dapat diasumsikan semakin besar dan tebal ukuran cangkang maka kemungkinan untuk dimangsa predatornya rendah.
  A.     Adaptasi terhadap suhu
 Temperatur perairan merupakan salah satu faktor abiotik yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan dan pertumbuhan, sebab temperatur berperan langsung dalam aktivitas dan proses metabolisme bivalvia (Manzi dan Castagna, 1989; Bayne, 1976). Ironisnya temperatur berbanding terbalik dengan kelarutan oksigen dalam air, padahal meningkatnya temperatur akan meningkatkan aktivitas metabolisme dan konsekuensinya akan meningkatkan kebutuhan oksigen. Proses  perubahan temperatur juga berpengaruh terhadap proses fisika dan kimia badan air. Temperatur juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem perairan.
Menurut Suprapto (2011) reaksi dari perubahan tingkat metabolisme bivalvia ini menyebabkan respirasi meningkat dan energi yang dikeluarkan turut meningkat. Bivalvia akan meningkatkan filtrasi atau konsumsi makannya untuk mengimbangi energi yang hilang dan untuk mengantisipasi keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan dari perubahan temperatur yang ekstrim. Jadi angka kecepatan filtrasi ikut dipengaruhi pula oleh kondisi temperatur lingkungannya. Dalam hal ini dapat diasumsikan bahwa temperatur dalam batasan normal tidak akan banyak memberikan pengaruh terhadap laju filtrasi. Pada temperatur rendah, misalnya 5ºC bivalvia memiliki laju filtrasi 1,64 l/jam, sementara pada temperatur tinggi (28ºC) laju filtrasinya sebesar 5,82 l/jam. Pada akhirnya peningkatan temperatur menyebabakan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air yang selanjutnya akan mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen.
 B.    Adaptasi saat kekurangan oksigen keadaan anaerobiosis
 Anaerobiosis sering terjadi saat suasana pasang surut yang akan mengakibatkan naik turunnya permukaan laut. Pada waktu surut, kelompok bivalvia tertentu akan terekspos ke udara terbuka dan harus menyesuaikan diri karena tidak adanya makanan maupun oksigen. Menurut Suprapto (2011) jika dalam kondisi ini maka memaksa bivalvia menyediakan energinya dengan mengoksidasi secara enzimatis persediaan makanan yang berupa jaringan tubuhnya. Proses perombakan jaringan akan diawali dengan membakar karbohidrat, lemak, dan diakhiri dengan protein.
Dengan demikian, bivalvia masih bisa bertahan hidup untuk jangka waktu tertentu dan apabila bivalvia telah mengoksidasi protein, maka periode ini sudah tahapan yang berbahaya, karena dapat menyebabkan mortalitas.
Kondisi anaerobiosis dapat juga terangsang oleh adanya fluktuasi ekstrim temperatur, salinitas, serta ketersediaan oksigen. Pada kerang Polymesoda cozxans dan bivalvia lainnya aktifts yang akan dilakukan adalah dengan menutup cangkang agar tidak terjadi dehidrasi. Hal ini setara dengan pernyataan Suprapto (2011)  dimana pada  kondisi ini kedua cangkangnya akan menutup rapat-rapat sehingga metabolisme didalam menyediakan energi dilaksanakan dengan kondisi anaerob, karena insang (branchie) tidak berfungsi sehingga oksigen tidak dapat masuk ke dalam tubuh.
Dalam suasana anaerobiosis, tingkat metabolisme akan menurun drastis. Demikian juga tingkat proses penyediaan energi, seperti pencernaan, penyerapan makanan, aktivitas otot, serta pertumbuhan. Dengan kondisi ini dapat pula terjadi suatu proses yang disebut “konservasi energi”.
Menurut Bayne et al. (1976) untuk perubahan temperatur yang sangat ekstrim, menyebabkan terjadinya metabolisme anaerobik secara cepat.
 
III. SIMPULAN

Berdasarkan data yang telah didapatkan dapat disimpulkan :
1.      Racun bahan pencemar adalah suatu zat atau bahan yang membahayakan kesehatan pada makhluk hidup dan mengurangi kualitas lingkungan.
2.      Zat-zat kimia yang dapat menjadi racun bahan pencemar tersebar melalui beberapa media dalam lingkungan yaitu, air, tanah, dan udara.
3.      Jenis-jenis racun bahan pencemar dapat berupa padatan, gas, dan cairan.
4.      Racun bahan pencemar dapat menimbulkan beberapa dampak yang buruk terhadap kesehatan pada manusia, contohnya: gangguan pada sistem saraf, pernafasan, peredaran darah dst; pada makhluk hidup lain contohnya beberapa hewan mengalami gangguan reproduksi dan lingkungan yang terkontaminasi oleh racun bahan pencemar tersebut mengalami kerusakan.
5.      Racun Bahan pencemar tersebut meliputi: karbon monoksida, merkuri, timbal, arsen, kadmium, dsb.

DAFTAR PUSTAKA

Hutabarat dan Steward, M.E.2008. Pengantar Oceanografi. Universitas Indonesia. Jakarta
Nybakken, J.W.1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT.Gramedia. Jakarta .

Nybakken, J.W.1988. Biologi Laut. PT.Gramedia. Jakarta .

Prajitno,A.2009.Biologi Laut. Universitas Brawijaya. Malang.


Bayne, B.L., Thompson, R.J. and Widdows, J. 1976b. Physiology: I. In: Marine Mussels: Their Ecology and Physiology (ed. B.L. Bayne), pp. 121-206. Cambridge University Press, Cambridge.

Hartati, R.I Widowato, dan Y. Ristiadi. 2005. Histologi Gonad Kerang Totok (Polymesoda erosa) dari Laguna Segara Anakan Cilacap. Ilmu Kelautan, Vol. 10 (3): 119-125

Hutabarat,s dan Steward,M.E.2008.Pengantar oseanografi.Universistas Indonesia.Jakarta.

Jueg, U. & Zettler, M.L. (2004). Die Mollusca en fauna der Elbe in Mecklenburg-Vorpommern mit Erstnachweis der Grobgerippten Körbchenmuschel Corbicula fluminea (O. F. Müller 1756). Mitteilungen der NGM 4(1):85-89.

Muslih. 2006. Biologi Kerang Totok (Donax sp.). Jurusan Perikanan dan Kelautan FST Unsoed.


Nybakken,J.W.1988.Biologi Laut . Pt Gramedia . Jakarta.

Prajitno.A.2009.Biologi Laut.Universitas Brawijaya.Malang.

Sahirman, 1997. Keragaman dan Distribusi Mollusca di Kawasan Hutan Mangrove Nusa Karang Kobar

Segara Anakan Kbupaten Cilacap, Skripsi. Fakultas Biologi UNSOED, Purwokerto.

Suprapto,Joko. 2011. Ekofsisiologi Bivalvia, Ekologi  dan Konsumsi Oksigen. Undip Press, UniversitasDiponegoro, Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar