Rabu, 26 November 2014

Model Problem Based Learning ( PBL )




A.    Model Problem Based Learning ( PBL )
sumber: pribadi
Model pembelajaran berbasis masalah dikembangkan oleh  Barrows sejak tahun 1970-an.  Pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pendidikan dimana masalah adalah sebagai titik awal dari proses pembelajaran. Sebagaimana yang diungkapkan Vleuten, Norman, dan Graaff (dalam Graaff dan Anette, 2003:2) berikut ini.

Problem-based learning is an educational approach whereby the problem is the starting point of the learning process.

Problem Based Learning (PBL) atau pembelajaran berbasis masalah adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, materi, dan pengaturan diri (Hmelo-Silver, 2004; Serafino & Cicchelli, 2005 dalam Eggen & Kauchak, 2012: 307). Pembelajaran berbasis masalah merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga merangsang siswa untuk belajar. Dalam kelas yang menerapkan pembelajaran berbasis masalah, siswa bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (real world) (Major dan Palmer, 2001:1). Sementara itu, Duch (1995:1) berpendapat bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang menantang siswa untuk belajar bagaimana belajar, bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata.
Lebih lanjut ditegaskan Sriyono (1991: 118) Problem Based Learning ( PBL ) ini  menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Model pembelajaran berbasis masalah menuntut kemampuan untuk melihat sebab akibat, mengobservasi masalah, mencari hubungan antara berbagai data yang terkumpul kemudian menarik kesimpulan yang merupakan hasil pemecahan masalah. Menurut Sanjaya (2007:214), masalah dalam model pembelajaran berbasis masalah adalah yang bersifat terbuka. Artinya jawaban dari masalah tersebut belum pasti. Setiap siswa, bahkan guru, dapat mengembangkan kemungkinan jawaban. Dengan demikian, model pembelajaran berbasis masalah memberikan kesempatan pada siswa untuk bereksplorasi, mengumpulkan dan menganalisis data secara lengkap untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

Menurut Pannen, P; D.Mustafa dan M.Sekarwinahyu (2005: 88) model pembelajaran berbasis masalah memiliki 5 asumsi  utama yaitu :
1). Permasalahan sebagai pemandu.
Permasalahan menjadi acuan yang harus menjadi perhatian siswa. Bacaan diberikan sejalan dengan permasalahan.  Siswa ditugaskan untuk membaca dengan selalu mengacu pada permasalahan.  Permasalahan menjadi kerangka pikir dalam mengerjakan tugas.
            2). Permasalahan sebagai kesatuan.
Permasalahan diberikan kepada siswa setelah tugas-tugas dan penjelsan diberikan.  Tujuannya memberikan kesempatan pada siswa untuk menerapkan pengetahuan yang sudah diperolehnya dalam pemecahan masalah.
3). Permasalahan sebagai contoh.
Permasalahan merupakan salah satu contoh dan bagian dari bahan pelajaran siswa.  Permasalahan digunakan untuk menggambarkan teori, konsep, atau prinsip dan dibahas dalam diskusi kelompok.
4). Permasalahan sebagai sarana yang memfasilitasi terjadinya proses.
Permasalahan menjadi alat untuk melatih siswa dalam bernalar dan berfikir kritis.
5). Permasalahan sebagai stimulus dalam aktivitas belajar.
Fokusnya pada pengembangan keterampilan pemecahan masalah dari kasus-kasus serupa.  Keterampilan tidak diajarkan oleh guru, tetapi ditemukan dan dikembangkan sendiri oleh siswa melalui aktivitas pemecahan masalah.  Keterampilan dimaksudkan meliputi keterampilan fisik. keterampilan data dan menganalisis data yang berkaitan dengan permasalahan, dan ketermpilan metakognitif.
  Masalah yang dihadapkan kepada siswa itu hendaklah :
1)   Jelas, bersih dari kesalahan dan tidak memiliki dua pengertian yang berbeda.
2)   Sesuai dengan kemampuan anak, tidak terlalu mudah dan juga tidak terlalu sulit sehingga tidak bisa dipecahkan oleh para siswa.
3)   Menarik minat anak.
4)   Sesuai dengan pelajaran anak di waktu yang lalu, sekarang maupun dimasa mendatang.
5)   Praktis dalam arti mungkin dijumpai dalam kehidupan sehari-hari Sriyono (1991:119).
 Ngalimun (2014:89-90) mengungkapkan karakteristik-karakteristik yang dimiliki oleh Problem Based Learning (PBL).
1)        Belajar dimulai dengan suatu masalah.
2)        Memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa.
3)        Mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu.
4)        Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar meraka sendiri.
5)        Menggunakan kelompok kecil.
6)        Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja.

Eggen & Kauchak (2012: 307-308) berpendapat karakteristik yang dimiliki oleh Problem Based Learning (PBL) ini penting dan menuntut keterampilan serta pertimbangan yang sangat profesional untuk memastikan kesuksesan pembelajaran berbasis masalah. Jika tidak cukup diberikan bimbingan dan dukungan, siswa akan gagal, membuang waktu, dan mungkin memiliki konsepsi keliru. Namun jika terlalu banyak diberikan bimbingan dan dukungan, siswa tidak akan mendapatkan banyak pengalaman pemecahan masalah. Menarik garis batas di tempat yang tepat menuntut pertimbangan profesional yang cermat (Eggen & Kauchak, 2012: 307-308).

Fase 1: Mengorientasikan Siswa pada Masalah
Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan.  Dalam penggunaan Problem Based Learning (PBL), tahapan ini sangat penting dimana guru harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh siswa dan juga oleh guru.  Di samping proses yang akan berlangsung, sangat penting juga dijelaskan bagaimana guru akan mengevaluasi proses pembelajaran.  Hal ini sangat penting untuk memberikan motivasi agar siswa dapat engage dalam pembelajaran yang akan dilakukan.
Sutrisno (dalam Ngalimun, 2014: 96) menekankan empat hal penting pada proses ini, yaitu :
1.         Tujuan utama pembelajaran ini tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi siswa yang mandiri.
2.         Permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar”, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan seringkali bertentangan.
3.         Selama tahap penyelidikan (dalam pembelajaran ini), siswa didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi, guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, tetapi siswa harus berusaha untuk bekerja mandiri atau dengan temannya.
4.         Selama tahap analisis dan penjelasan, siswa akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan, tidak ada ide yang akan ditertawakan oleh guru atau teman sekelas, semua siswa diberi ide-ide mereka.
Fase 2: Mengorganisasikan Siswa untuk Belajar
Selain mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, Problem Based Learning (PBL) juga mendorong siswa untuk berkolaborasi.  Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama dan sharing antaranggota.  Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda.  Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti:  kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antaranggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya.  Guru sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.  Setelah siswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar selanjutnya guru dan siswa menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal.  Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua siswa aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.
Fase 3: Membantu Penyelidikan Mandiri dan Kelompok
Penyelidikan adalah inti dari Problem Based Learning (PBL).  Meskipun setiap situasi permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, tetapi pada umumnya tentu melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan.  Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting.  Pada tahap ini, guru harus mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan.  Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri.  Pada fase ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalah-masalah dalam buku-buku.  Guru membantu siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya mengajukan pertanyaan pada siswa untuk beripikir tentang masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.

Setelah siswa mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan, dan pemecahan.  Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong siswa untuk menyampaikan semua ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat siswa berfikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan.  Pertanyaan-pertanyaan berikut kiranya cukup memadai untuk membangkitkan semangat penyelidikan bagi siswa.  ”Apa yang Anda butuhkan agar Anda yakin bahwa pemecahan dengan cara Anda adalah yang terbaik?” atau ”apa yang dapat Anda lakukan untuk menguji kelayakan pemecahanmu?” atau ”apakah ada solusi lain yang dapat Anda usulkan?”.  Oleh karena itu, selama fase ini, guru harus menyediakan bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu aktivitas siswa dalam kegaitan penyelidikan.
Fase 4: Mengembangkan dan Menyajikan Artefak (Hasil Karya) dan Memamerkannya

Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artefak (hasil karya) dan pameran.  Artefak lebih dari sekedar laporan tertulis, tetapi bisa suatu videotape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia.  Tentunya kecanggihan artefak sangat dipengaruhi tingkat berfikir siswa.  Langkah selanjutnya adalah memamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan siswa-siswa lainnya, guru-guru, orangtua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik.

Fase 5: Analisis dan Evaluasi Proses Pemecahan Masalah
Fase ini merupakan tahap akhir dalam Problem Based Learning (PBL).  Fase ini dimaksudkan untuk membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru meminta siswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya.  Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah?  Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu?  Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain?  Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan?  Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka?  Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung?  Apa penyebab perubahan itu?  Apakah mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang?  Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBL untuk pengajaran.

Kekuatan model pembelajaran berbasis masalah:
1)      Fokus pada kebermaknaan, bukan fakta (deep versus surface learning)
Dalam pembelajaran tradisional, siswa diharuskan mengingat banyak sekali informasi dan kemudian mengeluarkan ingatannya dalam ujian.  Informasi yang sedemikian banyak yang harus diingat siswa dalam proses belajar setelah proses pembelajaran selesai.  Pembelajaran berbasis masalah semata-mata tidak menyajikan informasi untuk diingat siswa.  Jika pembelajaran berbasis masalah menyajikan informasi, maka informasi tersebut harus digunakan dalam pemecahan masalah, sehingga terjadi proses kebermaknaan terhadap informasi.
2)      Meningkatkan kemampuan siswa untuk berinisiatif
Penerapan pembelajaran berbasis masalah membiasakan siswa untuk berinisiatif, sehingga pada akhirnya kemampuan tersebut akan meningkat.
3)        Pengembangan keterampilan dan pengetahuan
Pembelajaran berbasis masalah memberikan makna yang lebih, contoh nyata penerapan, dan manfaat yang jelas dari materi pembelajaran (fakta, konsep, prinsip, produser).  Semakin tinggi tingkat kompleksitas permasalahan, semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan siswa  yang dituntut untuk mampu memecahkan masalah.
4)        Pengembangan keterampilan interpersonal dan dinamika kelompok
Keterampilan interaksi sosial merupakan keterampilan yang amat diperlukan siswa di dalam proses pembelajaran maupun dalam kehidupan sehari-hari.
5)        Pengembangan sikap “Self-Motivated
Pembelajaran berbasis masalah yang memberikan kebebasan untuk siswa bereksplorasi bersama siswa lain dalam bimbingan guru merupakan proses pembelajaran yang disenangi siswa.  Dengan situasi belajar yang menyenangkan, siswa dengan sendirinya termotivasi untuk belajar terus.
6)        Tumbuhnya hubungan siswa-fasilitator
Hubungan siswa-fasilitator yang terjadi dalam pembelajaran berbasis masalah pada akhirnya dapat menjadi lebih menyenangkan bagi guru maupun siswa.
7)        Jenjang pencapaian pembelajaran dapat ditingkatkan
       Proses pembelajaran menggunakan pembelajaran berbasis masalah  dapat menghasilkan pencapaian siswa dalam penguasaan materi yang sama luas dan sama dalamnya  dengan pembelajaran tradisional.  Belum lagi, keragaman keterampilan dan kebermaknaan yang dapat dicapai oleh siswa merupakan nilai tambah pemanfaatan pembelajaran berbasis masalah (Pannen, P; D.Mustafa dan M.Sekarwinahyu ; 2005 : 99).
Menurut  Dasna & Sutrisna, (2010: 4) Problem Based Learning ( PBL ) sebaiknya digunakan dalam pembelajaran karena memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut :
1)   Dengan Problem Based Learning ( PBL ) akan terjadi pembelajaran bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan.  Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep.  Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan;
2)   Dalam situasi Problem Based Learning ( PBL ), siswa mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan.  Artinya, apa yang mereka lakukan sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori mereka akan temukan sekaligus selama pembelajaran berlangsung; dan
3)   Problem Based Learning ( PBL ) dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif siswa/mahasiswa dalam bekerja, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar