Rabu, 26 November 2014

Joyful Learning (pembelajaran yang menyenangkan)



Dunia pendidikan dan pelatihan (diklat) merupakan dunia yang penuh warna warni. Dunia diklat juga merupakan dunia yang sangat strategis sehubungan dengan kemajuan sumber daya manusia. Oleh karena itu, pendidikan dan pelatihan memerlukan penanganan yang serius dan sungguh-sungguh. Di samping itu, ia juga memerlukan sentuhan-sentuhan kreatif dan imajinatif yang sejalan dengan “apa adanya” manusia serta “kekinian” zaman. “Apa adanya” manusia merujuk kepada penanganan diklat yang menyentuh semua bagian diri manusia yang terdiri atas fisik, pikiran dan hati. Sedangkan “kekinian” zaman merujuk kepada pendidikan dan pelatihan yang aplikatif dan mengadaptasikan dirinya terhadap kondisi saat ini, baik dari segi isi, metode maupun manfaat.
Ada banyak teori yang dikemukakan para pakar untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan. Salah satu metode yang berusaha mengakomodir kepentingan fisik, pikiran dan hati manusia sesuai situasi dan kondisi saat ini adalah metode Joyful Learning (pembelajaran yang menyenangkan).
 
Apa itu Joyful Learning?

Joyful Learning merupakan metode pembelajaran yang melibatkan rasa senang, bahagia, dan nyaman dari pihak-pihak yang sedang berada dalam proses belajar mengajar. Di sini terdapat keterikatan cinta dan kasih sayang antara fasilitator dan peserta diklat maupun antar peserta diklat. Tak ubahnya seperti ikatan cinta antara sepasang kekasih, keterikatan hati di dalam proses belajar mengajar akan membuat masing-masing pihak berusaha memberikan yang terbaik untuk menyenangkan pihak lain. Fasilitator dengan semangat menggebu-gebu akan berusaha optimal memimpin kelas dengan cara yang paling menarik, sedangkan peserta dengan antusias dan berlomba-lomba ikut aktif ambil bagian dalam setiap kegiatan. Dengan demikian, Joyful Learning menjadi sarana yang membuat fasilitator maupun peserta diklat menjadi betah menjalani sesi demi sesi pelajaran sehingga hasilnya akan maksimal.

3 Gaya Belajar

Dalam metode joyful learning, pengajar yang merupakan fasilitator mencari bahan-bahan dan alat-alat pengajaran yang paling menarik perhatian para peserta diklat. Ia juga menerapkan kegiatan-kegiatan yang dapat membuat kelas menjadi bergerak dan dinamis. Untuk itu, seorang fasilitator terlebih dahulu perlu memahami perbedaan gaya belajar peserta diklat.
Secara garis besar, ada tiga gaya belajar (learning style), yaitu audio, visual dan kinestetik. Orang yang memiliki gaya belajar audio lebih tertarik dan memahami pelajaran yang disampaikan dengan suara. Sedangkan orang dengan gaya belajar visual cenderung lebih mudah dan cepat menerima informasi melalui penglihatannya, baik berupa tulisan maupun gambar. Selanjutnya, pembelajar kinestetik sangat senang belajar dengan aktifitas fisik yang langsung bersentuhan dengan objek yang dipelajari.
Dengan mempertimbangkan beragamnya gaya belajar tersebut, maka bahan, alat dan kegiatan yang dipilih melibatkan sebanyak mungkin indera. Hampir mustahil untuk membagi-bagi kelas peserta berdasarkan perbedaan gaya belajar mereka. Oleh sebab itu, maka bahan, alat dan kegiatan yang digunakan dikompilasi agar dapat mengakomodir gaya belajar seluruh peserta diklat. Beberapa saat fasilitator menyampaikan materi dengan suara. Selain itu ia juga menampilkan tulisan, gambar atau rekaman video. Di saat yang lain ia mengajak peserta bermain peran, games atau mengadakan lomba. Tak terkecuali dalam proses ini melakukan aktivitas-aktivitas yang “heboh” seperti bertepuk tangan, menyanyi, berlari, dan sebagainya. Semua ini tidak hanya akan membuat kelas menjadi hidup, namun juga menyalurkan kebutuhan ketiga gaya belajar di atas. Semakin banyak indera yang terlibat, semakin baik proses penyerapan materi.
Dalam dunia modern saat ini, tidaklah sulit mencari bahan-bahan maupun games yang berguna untuk pengajaran. Dengan hanya mengklik beberapa website di internet ditambah dengan ide-ide segar dan kreatif, seorang fasilitator dapat memperoleh ribuan bahan dan games siap pakai.
Tidak perlu khawatir menggunakan games yang biasa dimainkan anak-anak. Bahkan orang dewasapun butuh bermain. Tak heran jika di banyak tempat kita melihat orang-orang kantoran sedang asyik main Play Station, Point Blank, zuma, dan berbagai games lainnya. Mengapa? Karena main game itu mengasyikkan, bisa membuat orang lupa waktu dan tempat. Begitu juga jika hal ini diterapkan dalam proses pembelajaran. Bukan hanya menghindarkan kejenuhan dan rasa kantuk, kegiatan-kegiatan yang “heboh” seperti ini akan meninggalkan kesan yang lama dalam memori peserta diklat. Tentu saja games yang dipilih disesuaikan dengan topik yang sedang dibicarakan.
Setelah selesai melakukan sebuah game atau kegiatan tertentu, fasilitator kemudian mencari feedback dari peserta. Diskusi tentang refleksi atau makna dari kegiatan atau game yang telah dimainkan akan merangsang imajinasi peserta. Berbagai pendapat akan muncul sehingga makin memperkaya wawasan dan ilmu.
Kegiatan seperti ini juga dapat menghindarkan fasilitator dari kesan menggurui. Apalagi mengingat bahwa para peserta diklat adalah orang dewasa yang memiliki banyak pengetahuan dan pengalaman. Untuk itu, fasilitator membuka kesempatan sebanyak-banyaknya kepada peserta untuk memberikan pendapat. Menahan diri untuk tidak “mengajari” mungkin akan sulit. Namun boleh jadi fasilitator akan terkejut dengan kehebatan dan kepintaran peserta menyelesaikan suatu masalah. Bahkan pendapat mereka bisa jadi lebih baik dan tepat dengan situasi aktual. Jika begitu, mengapa menyusahkan diri sendiri untuk menjadi orang paling pintar?

Keseimbangan Otak Kiri dan Otak Kanan

Teori tentang pembagian otak kiri dan otak kanan serta perbedaan fungsi kedua hemisphere otak tersebut dikemukakan oleh seorang peneliti bernama Roger Sperry. Otak kiri identik dengan rapi, angka, tulisan, bahasa, hitungan, logika, analitis, matematis dan sistematis. Proses berpikirnya bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Sedangkan otak kanan identik dengan kreativitas, persamaan, khayalan, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna serta cenderung tidak memikirkan hal-hal yang terlalu mendetail. Cara berpikirnya bersifat acak, tidak teratur, intuitif dan holistik.
Kedua belahan otak ini penting. Oleh karena itu, pembelajaran yang baik adalah yang melibatkan keduanya. Mengapa? Karena kedua belahan otak memerlukan aktivitas yang seimbang untuk menghindari kelelahan. Sistem pembelajaran dengan metode ceramah, misalnya, lebih banyak merangsang kerja otak kiri. Jika ini berlangsung selama berjam-jam, maka otak kiri dipaksa melakukan aktivitas yang berlebihan, sementara otak kanan dibiarkan menganggur. Tidak hanya membuatnya kelelahan, aktivitas berlebihan memaksa otak kiri agar mengambil nutrisi makanan berupa oksigen dan glukosa dari otak kanan. Ini mengakibatkan otak kanan kekurangan nutrisi. Untuk memenuhi kebutuhannya, otak kanan memerintahkan pemiliknya untuk mendapatkan oksigen dan glukosa dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Alhasil, mulailah sang pemilik otak melakukan aksi mengkhayal atau melamun, coret-coret, bercanda, dan sebagainya. Ini merupakan konsekwensi dari pemenuhan kebutuhan otak kanan terhadap nutrisi tadi.
Jika hal itu terjadi ketika proses pembelajaran sedang berlangsung, sesungguhnya fasilitator tidak dapat menyalahkan peserta. Sebaliknya, ia sesegera mungkin menerapkan metode pengajaran yang berbeda untuk mendapatkan kembali semangat dan perhatian peserta. Mencari aktivitas-aktivitas yang dibutuhkan oleh otak kanan akan menjadi solusi yang jitu. Kegiatan yang berhubungan dengan hiburan semisal menyanyi, pemutaran video klip lucu, bermain peran, games atau lomba merupakan beberapa alternatif yang dapat digunakan.
Demikian pula sebaliknya. Proses pembelajaran yang terlalu banyak menstimulasi fungsi otak kanan akan membuatnya kelelahan. Alih-alih menikmati games yang dimainkan terus menerus, peserta lebih memilih membaca buku atau modul, mencatat, diskusi dengan teman tentang pelajaran, dan sebagainya.
Metode Joyful Learning menyeimbangkan antara fungsi otak kiri dan otak kanan. Seimbang berarti kedua-duanya diaktifkan. Tidak perlu menunggu hingga salah satu hemisphere otak mengalami kelelahan seperti contoh di atas. Oleh karena itu, sebelum masuk kelas seorang fasilitator seyogyanya telah mendisain bahan, alat dan kegiatan yang diperhitungkan dapat merangsang kerja otak kiri dan kanan di sepanjang pertemuan.
Satu aktivitas bisa jadi dapat mengaktifkan otak kiri dan otak kanan sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Misalnya, pemutaran video yang disertai dengan ilustrasi dan penjelasan detil tentang suatu masalah. Atau memberi tugas hitungan (pajak, bea masuk atau cukai, misalnya) dengan bermain peran, dimana setting tempat dibuat sama seperti di kantor. Termasuk juga menghapal rumus melalui lagu atau dengan memainkan game tertentu, lalu mendiskusikannya.
Untuk keperluan ini, seluruh bagian dalam ruangan kelas bisa dimanfaatkan. Dinding kelas dapat ditempeli kertas yang berisi tulisan-tulisan maupun gambar-gambar warna warni yang berhubungan dengan pelajaran dan motivasi. Meja-kursi dapat dipindah-pindah untuk melakukan aktivitas tertentu dan untuk menghindari kejenuhan. Pendeknya, mengoptimalkan fungsi kedua bagian otak. 

Pentingnya Memuji

Banyak teori pendidikan yang menyatakan bahwa materi pelajaran akan tahan lama dalam ingatan ketika proses pembelajaran dikaitkan dengan emosi positif yang kuat. Disebutkan pula bahwa stres, kebosanan, kebingungan, motivasi rendah dan kecemasan dapat mengganggu proses belajar.
Metode joyful learning menciptakan suasana yang segar dan jauh dari perasaan tertekan. Dengan kepiawaiannya, fasilitator menghadirkan kegembiraan dalam proses pembelajaran. Ia dan para peserta saling support dan saling transfer energi positif.
Satu hal yang dapat memberi efek positif kuat dalam emosi seseorang adalah pemberian pujian. Secara naluriah, orang senang dipuji. Pujian dapat membuat orang merasa bangga terhadap dirinya. Pujian juga dapat menimbulkan dan meningkatkan rasa percaya diri. Akibatnya orang tersebut akan termotivasi untuk melakukan suatu pekerjaan dengan lebih baik.
Selain itu, pujian fasilitator terhadap peserta diklat dapat menimbulkan rasa suka dan kedekatan. Rasa suka menjadi pintu gerbang yang sangat baik untuk memunculkan rasa percaya dan loyalitas. Dengan modal ini, seorang fasilitator akan lebih mudah melakukan persuasi dan kontrol terhadap peserta.
Pujian yang baik adalah pujian dengan cara yang benar, yakni apa adanya alias tidak mengada-ada dan dilakukan dengan tulus. Tidak perlu berlebih-lebihan, namun juga tidak “pelit” pujian. Ini dapat dilakukan di sepanjang proses pembelajaran dengan berbagai bentuk seperti acungan jempol, tepuk tangan, atau ungkapan “bagus, hebat, cerdas”. Intinya adalah memberikan dukungan emosional terhadap apa yang telah dilakukan oleh peserta, sekecil apapun, sehingga ia merasa dihargai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar