Jumat, 02 Oktober 2015

SYARAF TEPI DAN OTOT (Laporan Praktikum Fisiologi Hewan)


SYARAF TEPI DAN OTOT
(Laporan Praktikum Fisiologi Hewan)

Oleh
Robbin Yama Shita
1113024060



I.                   PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang
 Belajar mengenai makhluk hidup, maka tak akan lepas pembahasan mengenai ciri-ciri makhluk hidup, salah satunya yaitu bergerak. Pembahasan mengenai gerak pada makhluk hidup terutama hewan maka harus faham mengenai otot dan syaraf. Sistem saraf mengkoordinasi gerakan yang dilakukan oleh otot agar menjadi suatu gerakan yang terkoordinasi. Oleh karena itu gerak yang ditimbulkan dapat dilihat sedemikian rupa sehingga terlihat adanya suatu aktivitas ( Widiastuti , 2002). Demi meningkatkan pemahaman akan mekanisme dan cara kerja syaraf tepi dan otot pada hewan, maka pada percobaan kali ini akan coba dipelajari mengenai syaraf tepi dan otot pada hewan tersebut bisa terjadi.

1.2.Tujuan percobaan
Adapun tujuan dari percobaan ini yaitu:
a.       Mengetahui mekanisme bedah otot syaraf pada hewan tahap dasar
b.      Mengetahui mekanisme kerja otot dan syaraf tepi
c.       Mengetahui hala-hal yang dapat memberi respon pada otot dan syaraf tepi


II.                TINJAUAN PUSTAKA

Otot adalah kumpulan sel otot yang membentuk jaringan yang berfungsi menyelenggarakan gerakan organ tubuh. Otot merupakan alat gerak aktif, sedangkan rangka tubuh merupakan alat gerak pasif. Otot tidak hanya menggerakkan rangka tubuh. Misalnya, otot polos penyusun usus menggerakkan makanan, dan otot jantung memompa darah. Otot penggerak rangka tubuh dikenal sehari-hari dengan daging. Sel-sel otot mempunyai kemampuan berkontraksi. Kontraksi adalah melakukan pengerutan sehingga bentuk sel otot memendek. Setelah berkontraksi otot melakukan relaksasi. Relaksasi adalah melakukan pengenduran sehingga bentuk otot memanjang.

Di dalam serabut otot terdapat tiga macam protein yaitu miogen (sangat mudah larut), myosin (tidak mudah larut), aktin (tidak mudah larut). Campuran aktin dan miosin disebut aktomiosin. Aktomiosin inilah yang merupakan protein utama dalam otot. Bila aktomiosin dipekatkan, maka akan membentuk benang. Di dalam otot, terdapat otot yang sangat peka rangsangan yaitu asetilkolin. Bila saraf otot terangsang, maka asetilkolin terurai. Terurainnya asetilkolin menyebabkan terbentuknya miogen, dan terbentuknya miogen akan merangsang terbentuknya aktomiosin. Bila aktomiosin terkena miogen, maka aktomiosin akan berkontraksi Jika otot dirangsang berulang kali secara teratur dengan jarak waktu yang cukup, maka otot akan berelaksasi secara sempurna diantara dua kontraksi otot. Tetapi jika jarak rangsangan terlalu singkat maka otot akan tegang atau disebut tonus. Bila rangsangan ditingkatkan lagi, maka otot tidak dapat relaksasi sama sekali disebut tetanus. Pada penderita kelumpuhan, seperti poliomyelitis, otot tidak dapat dilatih untuk berkontraksi dan berelaksasi, sehingga otot tersebut menjadi lemah atau lisut disebut artropi. Sebaliknya otot yang sering dilatih, dapat tumbuh lebih besar disebut hipertropi (Djamhur, 1985).

Secara struktural, sistem saraf tepi vertebrata terdiri atas saraf kranial dan saraf spinal yang berpasangan. Saraf kranial (cranial nerve) berasal dari otak yang menginervasi organ kepala dan tubuh bagian atas.Saraf spinal (spinal nerve) berasal dari sumsum tulang belakang dan menginevarsi keseluruhan tubuh.  Mamalia mempunyai 12 pasang saraf  kranial dan 31 pasang saraf spinal. Sebagian besar saraf kranial dan semua saraf spinal  mengandung neuron sensoris maupun neuron motoris; beberapa saraf kranial hanya memiliki neuron sensoris.   Karena pengaturan yang kompleks dari neuron sensoris dan neuron motoris pada saraf kranial dan saraf spinal vertebrata, maka akan lebih mudah untuk membagi sistem saraf tepi menjadi hirarki komponen yang berbeda fungsi. Divisi sensoris  sistem saraf tepi tersusun atas neuron sensoris atau neuron aferen yang mengirimkan informasi dari reseptor sensoris ke sistem saraf pusat yang memonitor lingkungan eksternal dan lingkungan internal. Divisi motoris  tersusun atas neuron eferen yang mengirimkan sinyal dari sistem saraf pusat ke sel efektor (Campbell,  2002).

Untuk kebutuhan komunikasi dengan lingkungan sekitar ataupun dengan sesamanya, hewan dan manusia membutuhkan organ dan sistem yang terkait di dalamnya. Pada umumnya, komunikasi pada hewan dilakukan oleh sel saraf yang memiliki inervasi di seluruh jaringan tubuhnya. Sistem saraf dibentuk oleh sel saraf ( neuron) yang membentuk jaringan dan akhirnya membentuk sistem koordinasi tubuh organisme. Sel saraf termasuk sel yang besar dan ukurannya lebih panjang dibandingkan dengan sel-sel lainnya dalam tubuh hewan. Berdasarkan morfologinya, sel saraf dibagi menjadi dendrit, soma atau badan sel dengan intinya, akson hillock, akson dengan Nodus ranvier dan lapisan myelin, serta neurit. Daerah integrasi pada neuron motorik adalah daerah terjadinya integrasi dalam bentuk komunikasi antara sel saraf yang satu dengan yang lainnya ( presinaptik dan postsinaptik ). Pada bagian ini terdapat sinaps, terminal dari presinaptik dan merupakan awal dari postsinaptik. Bagian soma (badan sel) adalah tempat arus impuls pada bagian postsinaptik dilanjutkan. Spike initiation adalah bagian dari soma dengan neurit yang mengalami induksi impuls selanjutnya ke bagian bawah akson. Adanya nodus ranvier akan mempercepat arus impuls. Nodus Ranvier ini akan membantu mengeksitasi hantaran impuls sepanjang akson tersebut. Tanpa adanya Nodus Ranvier maka impuls akan berjalan lama dan memungkinkan mengalami degradasi dan tidak akn mampu melakukan eksitasi untuk melanjutkan konduksi impuls (Widiastuti,2002).

Single pitihing adalah teknik mematikan katak dengan memasukan sonde kedalam foramen occipetale yang kemudian untuk beberapa saat sonde tersebut diputar-putar sehingga otak rusak. Katak tidak langsung mati,  tetapi mengalami kerusakan otak. Hal ini menyebabkan tidak terkoordinasinya gerakan karena impuls yang diterima tidak melalui otak, respon yang diberikan seolah-olah hanya dari otot saja. Sedangkan, double pitihing adalah teknik mematikan katak seperti single pithing, hanya dteruskan dengan sonde ditarik kembali dan ditusukan kearah belakang kedalam canalis vertrebalis dengan memutar-mutarkan sonde tersebut hingga katak mati ( Tim Fisiologi Hewan, 2011).

III.             PROSEDUR KERJA
 
3.1. Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu:
1.      Sonde
2.      Gunting bedah
3.      Jarum pentul
4.      Pencatat waktu
5.      Papan fiksasi
6.      Wadah air terbuka

Adapun bahan yang digunakan dalam percobaan ini yaitu:
1.      Katak hidup
2.      Garam
3.      Cuka
4.      Air

 3.2. Prosedur Kerja
3.2.1        Mematikan Katak
1.      Menyiapkan Seekor katak
2.      Menusuk Foramen occipetale dengan sonde/jarum pentul, lalu sonde atau jarum pentul tersebut di putar-putar sehingga otaknya rusak (Single pithing)
3.      Setelah itu sonde/ jarum pentul diarahkan secara horizontal lalu tusuk arah belakang kedalam Canalis vertebralis, lalu putar-putar sejenak (Double pithing)

3.2.2.      Macam-Macam Rangsangan
1.    Meletakkan pada papan fiksasi katak yang telah dimatikan sarafnya dengan memfiksasi badan dan kakinya menggunakan jarum pentul.
2.      Membuka kulit bagian paha dan betis dengan cutter.
3.      Memberikan rangsangan osmotis dengan menggunakan garam dapur yang ditaburkan pada bagian paha dan betis yang kulitnya telah dibuka.
4.      Mengamati dan mencatat reaksi yang ditimbulkan pada katak.
5.    Mengulang kembali langkah a-e menggunakan katak lain dan dengan memberikan rangsangan cuka.


IV.             HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 

No
Perlakuan
Single Phiting
Double Phiting
1
Pemberian cuka
(kimiawi)
Gerak aktif
Nafas cepat, tidak terlalu akif
2
Mekanis
Diam
Diam
3
Garam(osmotik)
Bergerak cepat
Nafas semakin cepat
Otot bergerak
Tubuh tidak bergerak

Atau, secara simbolis dapat di gambar kan sebagai berikut :

No
Perlakuan

Perlakuan
Intensitas respon
terhadap Garam
Intensitas respon
     terhadap Cuka
1
Single pithing
+ + + +
+++
2
Double pithing
+
+

4.2  Pembahasan
Pada percobaan kali ini kami melakukan percobaan mengenai cara mematikan katak dan mengamati respon dari beberapa rangsangan terhadap syaraf tepi dan otot.
Percobaan pertama yaitu cara mematikan katak, kami melakukan dua cara mematikan katak yang pertama dengan single pithing yaitu dengan menusukkan jarum pentul/sonde ke bagian Foramen occipetal pada kepala katak, dan memutar-mutar jarum pentul/sonde tersebut selama beberapa saat dan kemudian di cabut. Single pithing ini dilakukan agar katak tidak mampu bergerak secara aktif lagi. Selanjutnya dari dengan katak yang berbeda dan telah dilakukan single pithing, dengan jarum yang masih tertancap di foramen occipetal lalu jarum diarahkan ke bagian belakang/punggung katak tepatnya ke arah canalis vertebralis selanjutnya jarum pentul tersebut diputar-putar sejenak lalu dicabut, perlakuan ini di sebut Double pithing. Pada perlakuan yang kedua ini kami sempat mengalami kegagalan sampai 3 kali, karena sesaat setelah dilakukan double pithing, katak langsung mati.

Percobaan kedua yaitu memberikan macam-macam rangsangan pada katak yang masih hidup tadi, yang telah dilakukan single pithing dan daouble pithing. Rangsangan pertama yang dilakukan yaitu memberikan rangsangan mekanis. Pertama, katak yang telah dilakukan single pithing dan double pithing tadi diletakkan pada papan bedah secara telentang, pada bagian ujung-ujung tubuhnya ditancapkan ke papan bedah dengan menggunakan  jarum pentul selanjutnya  membuka bagian kulit pada paha katak tersebut. Pada bagian paha katak yang kulitnya telah terbuka  disentuh dengan menggunakan penggaris (bukan besi)  namun katak tersebut tidak memberikan respon yang berarti. Rangsangan kedua yaitu dengan memberikan rangsangan kimiawi. Pada bagian paha katak yang kulitnya telah terbuka tadi di tetesi dengan larutan cuka. Katak yang telah dilakukan single pithing memberikan respon dengan bergerak aktif sedang pada katak yang telah diilakukan double pithing
Hanya memberikan respon dengan napas cepat, namun bergerak tidak terlalu aktif. Rangsangan ketiga yaitu dengan memberikan rangsangan osmotis. Pada bagian paha katak yang kulitnya telah terbuka tadi di beri garam dapur. Katak yang telah dilakukan single pithing memberikan respon dengan bergerak  cepat/ aktif  melebihi respon nya terhadap rangsangan kimiawi dan nafas nafas semakin cepat sedang pada katak yang telah dilakukan double pithing
Hanya memberikan respon dengan pergerak pada bagian otot namun tubuh tidak bergerak.

Pada katak yang telah di berikan beberapa perlakuan tersebut sebagian besar dapat merespon dengan baik. Hal ini dikarenakan katak memiliki sistem saraf yang mana saraf-saraf tersebut dapat menghantarkan stimulus ke otak hingga menimbulkan respon.
Pada perlakuan mekanik tidak menimbulkan reaksi atau lemah sekali hal ini dikarenakan jenis rangsangan ini hanya diberikan dipermukaan otot saja, sehingga kontraksi yang dihasilkan sangat lemah, bahkan tidak memberikan reaksi. Sedangkan pada perlakuan menggunakan mangakibatkan cuka akan ditangkap oleh kemoreseptor dan dapat ditranduksikan sampai ke sistem saraf katak, sehingga dapat dirasakan oleh katak dan memberikan respon yang cukup kuat. Selanjutnya perlakuan dengan memberikan garam dinamakan rangsangan osmotic. Garam atau NaCl, dengan komposisi Na nya yang berfungsi sebagai transmitter dan merupakan substansi yang dapat mempercepat rangsangan. Larutan garam yang mengandung ikatan ionic yang kuat, sehingga dapat terserap oleh serta otot lebih cepat sehingga menghasilkan kontraksi otot yang kuat.
 
V.  KESIMPULAN
 
Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Cara mematikan Katak da dua cara yaitu dengan Single Pithing dan double Pithing
2.      Beberapa rangsangan yang mampu memberikan respon pada syaraf tepi dan otot katak yaitu rangsangan mekanis, rangsangan kimiawi, rangsangan Osmotik
3.      Berdasarkan hasil percobaan, rangsangan osmitik mampu membuat respon yang lebih kuat dibanding dengan rangsangan kimiawi dan rangsangan mekanis.

DAFTAR PUSTAKA

Djamhur, W. 1985. Fisiologi Hewan. Jakarta : Universitas Terbuka. 

Campbell Neil A. Dkk. 2004. Biologi Edisi Kelima Jilid III. Erlangga :Jakarta.

Widiastuti, E.L. 2002. Bahan Ajar Fisiologi Hewan 1. Bandar Lampung :Universitas Lampung
Tim Penyusun.2011. Penuntun Praktikum Fisiologi Hewan. Universitas Lampung: Bandar Lampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar