SYARAF TEPI DAN OTOT
(Laporan
Praktikum Fisiologi Hewan)
Oleh
Robbin Yama Shita
1113024060
I.
PENDAHULUAN
1.1.Latar
belakang
Belajar
mengenai makhluk hidup, maka tak akan lepas pembahasan mengenai ciri-ciri
makhluk hidup, salah satunya yaitu bergerak. Pembahasan mengenai gerak pada
makhluk hidup terutama hewan maka harus faham mengenai otot dan syaraf. Sistem saraf mengkoordinasi gerakan yang dilakukan oleh
otot agar menjadi suatu gerakan yang terkoordinasi. Oleh karena itu gerak yang
ditimbulkan dapat dilihat sedemikian rupa sehingga terlihat adanya suatu
aktivitas ( Widiastuti , 2002). Demi meningkatkan pemahaman
akan mekanisme dan cara kerja syaraf tepi dan otot pada hewan, maka pada
percobaan kali ini akan coba dipelajari mengenai syaraf tepi dan otot pada hewan
tersebut bisa terjadi.
1.2.Tujuan percobaan
Adapun tujuan dari
percobaan ini yaitu:
a. Mengetahui
mekanisme bedah otot syaraf pada hewan tahap dasar
b. Mengetahui
mekanisme kerja otot dan syaraf tepi
c. Mengetahui
hala-hal yang dapat memberi respon pada otot dan syaraf tepi
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Otot adalah kumpulan sel otot yang
membentuk jaringan yang berfungsi menyelenggarakan gerakan organ tubuh. Otot
merupakan alat gerak aktif, sedangkan rangka tubuh merupakan alat gerak pasif.
Otot tidak hanya menggerakkan rangka tubuh. Misalnya, otot polos penyusun usus
menggerakkan makanan, dan otot jantung memompa darah. Otot penggerak rangka
tubuh dikenal sehari-hari dengan daging. Sel-sel otot mempunyai kemampuan
berkontraksi. Kontraksi adalah melakukan pengerutan sehingga bentuk sel otot
memendek. Setelah berkontraksi otot melakukan relaksasi. Relaksasi adalah
melakukan pengenduran sehingga bentuk otot memanjang.
Di dalam serabut otot terdapat tiga
macam protein yaitu miogen (sangat mudah larut), myosin (tidak mudah larut),
aktin (tidak mudah larut). Campuran aktin dan miosin disebut aktomiosin.
Aktomiosin inilah yang merupakan protein utama dalam otot. Bila aktomiosin
dipekatkan, maka akan membentuk benang. Di dalam otot, terdapat otot yang
sangat peka rangsangan yaitu asetilkolin. Bila saraf otot terangsang, maka
asetilkolin terurai. Terurainnya asetilkolin menyebabkan terbentuknya miogen,
dan terbentuknya miogen akan merangsang terbentuknya aktomiosin. Bila
aktomiosin terkena miogen, maka aktomiosin akan berkontraksi Jika otot
dirangsang berulang kali secara teratur dengan jarak waktu yang cukup, maka
otot akan berelaksasi secara sempurna diantara dua kontraksi otot. Tetapi jika
jarak rangsangan terlalu singkat maka otot akan tegang atau disebut tonus. Bila
rangsangan ditingkatkan lagi, maka otot tidak dapat relaksasi sama sekali
disebut tetanus. Pada penderita kelumpuhan, seperti poliomyelitis, otot tidak
dapat dilatih untuk berkontraksi dan berelaksasi, sehingga otot tersebut
menjadi lemah atau lisut disebut artropi. Sebaliknya otot yang sering dilatih,
dapat tumbuh lebih besar disebut hipertropi (Djamhur, 1985).
Secara struktural, sistem saraf tepi vertebrata terdiri
atas saraf kranial dan saraf spinal yang berpasangan. Saraf kranial (cranial
nerve) berasal dari otak yang menginervasi organ kepala dan tubuh bagian
atas.Saraf spinal (spinal nerve) berasal dari sumsum tulang belakang dan
menginevarsi keseluruhan tubuh. Mamalia
mempunyai 12 pasang saraf kranial dan 31
pasang saraf spinal. Sebagian besar saraf kranial dan semua saraf spinal mengandung neuron sensoris maupun neuron
motoris; beberapa saraf kranial hanya memiliki neuron sensoris. Karena pengaturan yang kompleks dari neuron
sensoris dan neuron motoris pada saraf kranial dan saraf spinal vertebrata,
maka akan lebih mudah untuk membagi sistem saraf tepi menjadi hirarki komponen
yang berbeda fungsi. Divisi sensoris
sistem saraf tepi tersusun atas neuron sensoris atau neuron aferen yang
mengirimkan informasi dari reseptor sensoris ke sistem saraf pusat yang
memonitor lingkungan eksternal dan lingkungan internal. Divisi motoris tersusun atas neuron eferen yang mengirimkan
sinyal dari sistem saraf pusat ke sel efektor (Campbell, 2002).
Untuk
kebutuhan komunikasi dengan lingkungan sekitar ataupun dengan sesamanya, hewan
dan manusia membutuhkan organ dan sistem yang terkait di dalamnya. Pada
umumnya, komunikasi pada hewan dilakukan oleh sel saraf yang memiliki inervasi
di seluruh jaringan tubuhnya. Sistem saraf dibentuk oleh sel saraf ( neuron)
yang membentuk jaringan dan akhirnya membentuk sistem koordinasi tubuh
organisme. Sel saraf termasuk sel yang besar dan ukurannya lebih panjang
dibandingkan dengan sel-sel lainnya dalam tubuh hewan. Berdasarkan
morfologinya, sel saraf dibagi menjadi dendrit, soma atau badan sel dengan
intinya, akson hillock, akson dengan Nodus ranvier dan lapisan myelin, serta
neurit. Daerah integrasi pada neuron motorik adalah daerah terjadinya integrasi
dalam bentuk komunikasi antara sel saraf yang satu dengan yang lainnya (
presinaptik dan postsinaptik ). Pada bagian ini terdapat sinaps, terminal dari
presinaptik dan merupakan awal dari postsinaptik. Bagian soma (badan sel)
adalah tempat arus impuls pada bagian postsinaptik dilanjutkan. Spike initiation adalah bagian dari soma
dengan neurit yang mengalami induksi impuls selanjutnya ke bagian bawah akson.
Adanya nodus ranvier akan mempercepat arus impuls. Nodus Ranvier ini akan
membantu mengeksitasi hantaran impuls sepanjang akson tersebut. Tanpa adanya
Nodus Ranvier maka impuls akan berjalan lama dan memungkinkan mengalami
degradasi dan tidak akn mampu melakukan eksitasi untuk melanjutkan konduksi
impuls (Widiastuti,2002).
Single pitihing adalah teknik mematikan katak dengan
memasukan sonde kedalam foramen occipetale yang kemudian untuk beberapa saat
sonde tersebut diputar-putar sehingga otak rusak. Katak tidak langsung
mati, tetapi mengalami kerusakan otak.
Hal ini menyebabkan tidak terkoordinasinya gerakan karena impuls yang diterima
tidak melalui otak, respon yang diberikan seolah-olah hanya dari otot saja.
Sedangkan, double pitihing adalah teknik mematikan katak seperti single pithing,
hanya dteruskan dengan sonde ditarik kembali dan ditusukan kearah belakang
kedalam canalis vertrebalis dengan memutar-mutarkan sonde tersebut hingga katak
mati ( Tim Fisiologi Hewan, 2011).
III.
PROSEDUR KERJA
3.1. Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan
dalam praktikum ini yaitu:
1.
Sonde
2.
Gunting bedah
3.
Jarum pentul
4.
Pencatat waktu
5.
Papan fiksasi
6.
Wadah air terbuka
Adapun
bahan yang digunakan dalam percobaan ini yaitu:
1. Katak hidup
2. Garam
3. Cuka
4. Air
3.2. Prosedur Kerja
3.2.1
Mematikan Katak
1.
Menyiapkan Seekor
katak
2.
Menusuk Foramen
occipetale dengan sonde/jarum pentul, lalu sonde atau jarum pentul tersebut di
putar-putar sehingga otaknya rusak (Single pithing)
3.
Setelah itu sonde/
jarum pentul diarahkan secara horizontal lalu tusuk arah belakang kedalam Canalis
vertebralis, lalu putar-putar sejenak (Double pithing)
3.2.2.
Macam-Macam
Rangsangan
1. Meletakkan
pada papan fiksasi katak yang telah dimatikan sarafnya dengan memfiksasi badan
dan kakinya menggunakan jarum pentul.
2.
Membuka
kulit bagian paha dan betis dengan cutter.
3.
Memberikan rangsangan
osmotis dengan menggunakan garam dapur yang ditaburkan pada bagian paha dan
betis yang kulitnya telah dibuka.
4.
Mengamati dan mencatat
reaksi yang ditimbulkan pada katak.
5. Mengulang kembali
langkah a-e menggunakan katak lain dan dengan memberikan rangsangan cuka.
IV.
HASIL PENGAMATAN DAN
PEMBAHASAN
No
|
Perlakuan
|
Single Phiting
|
Double Phiting
|
1
|
Pemberian cuka
(kimiawi)
|
Gerak aktif
|
Nafas cepat, tidak terlalu akif
|
2
|
Mekanis
|
Diam
|
Diam
|
3
|
Garam(osmotik)
|
Bergerak cepat
Nafas semakin cepat
|
Otot bergerak
Tubuh tidak bergerak
|
Atau, secara simbolis dapat di
gambar kan sebagai berikut :
No
|
Perlakuan
|
Perlakuan
|
|
Intensitas respon
terhadap Garam
|
Intensitas respon
terhadap Cuka
|
||
1
|
Single
pithing
|
+
+ + +
|
+++
|
2
|
Double
pithing
|
+
|
+
|
4.2 Pembahasan
Pada
percobaan kali ini kami melakukan percobaan mengenai cara mematikan katak dan
mengamati respon dari beberapa rangsangan terhadap syaraf tepi dan otot.
Percobaan
pertama yaitu cara mematikan katak, kami melakukan dua cara mematikan katak
yang pertama dengan single pithing yaitu dengan menusukkan jarum pentul/sonde
ke bagian Foramen occipetal pada kepala katak, dan memutar-mutar jarum
pentul/sonde tersebut selama beberapa saat dan kemudian di cabut. Single
pithing ini dilakukan agar katak tidak mampu bergerak secara aktif lagi.
Selanjutnya dari dengan katak yang berbeda dan telah dilakukan single pithing,
dengan jarum yang masih tertancap di foramen occipetal lalu jarum diarahkan ke
bagian belakang/punggung katak tepatnya ke arah canalis vertebralis selanjutnya
jarum pentul tersebut diputar-putar sejenak lalu dicabut, perlakuan ini di
sebut Double pithing. Pada perlakuan yang kedua ini kami sempat mengalami kegagalan
sampai 3 kali, karena sesaat setelah dilakukan double pithing, katak langsung
mati.
Percobaan
kedua yaitu memberikan macam-macam rangsangan pada katak yang masih hidup tadi,
yang telah dilakukan single pithing dan daouble pithing. Rangsangan pertama
yang dilakukan yaitu memberikan rangsangan mekanis. Pertama, katak yang telah
dilakukan single pithing dan double pithing tadi diletakkan pada papan bedah
secara telentang, pada bagian ujung-ujung tubuhnya ditancapkan ke papan bedah
dengan menggunakan jarum pentul
selanjutnya membuka bagian kulit pada
paha katak tersebut. Pada bagian paha katak yang kulitnya telah terbuka disentuh dengan menggunakan penggaris (bukan
besi) namun katak tersebut tidak
memberikan respon yang berarti. Rangsangan kedua yaitu dengan memberikan
rangsangan kimiawi. Pada bagian paha katak yang kulitnya telah terbuka tadi di
tetesi dengan larutan cuka. Katak yang telah dilakukan single pithing
memberikan respon dengan bergerak aktif sedang pada katak yang telah diilakukan
double pithing
Hanya
memberikan respon dengan napas cepat, namun bergerak tidak terlalu aktif.
Rangsangan ketiga yaitu dengan memberikan rangsangan osmotis. Pada bagian paha
katak yang kulitnya telah terbuka tadi di beri garam dapur. Katak yang telah
dilakukan single pithing memberikan respon dengan bergerak cepat/ aktif
melebihi respon nya terhadap rangsangan kimiawi dan nafas nafas semakin
cepat sedang pada katak yang telah dilakukan double pithing
Hanya
memberikan respon dengan pergerak pada bagian otot namun tubuh tidak bergerak.
Pada katak yang telah
di berikan beberapa perlakuan tersebut
sebagian besar dapat merespon dengan baik. Hal ini
dikarenakan katak memiliki sistem saraf yang mana saraf-saraf tersebut dapat
menghantarkan stimulus ke otak hingga menimbulkan respon.
Pada
perlakuan mekanik tidak
menimbulkan reaksi atau lemah sekali hal ini dikarenakan jenis rangsangan ini
hanya diberikan dipermukaan otot saja, sehingga kontraksi yang dihasilkan
sangat lemah, bahkan tidak memberikan reaksi. Sedangkan pada
perlakuan menggunakan mangakibatkan cuka akan ditangkap oleh kemoreseptor dan
dapat ditranduksikan sampai ke sistem saraf katak, sehingga dapat dirasakan
oleh katak dan memberikan respon yang cukup kuat. Selanjutnya perlakuan dengan memberikan garam dinamakan rangsangan osmotic. Garam
atau NaCl, dengan komposisi Na
nya yang berfungsi sebagai
transmitter dan merupakan substansi yang dapat mempercepat rangsangan. Larutan
garam yang mengandung ikatan ionic yang kuat, sehingga dapat terserap oleh
serta otot lebih cepat sehingga menghasilkan kontraksi otot yang kuat.
V.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Cara mematikan Katak da dua cara yaitu dengan Single
Pithing dan double Pithing
2. Beberapa rangsangan yang mampu memberikan respon pada
syaraf tepi dan otot katak yaitu rangsangan mekanis, rangsangan kimiawi,
rangsangan Osmotik
3.
Berdasarkan hasil percobaan,
rangsangan osmitik mampu membuat respon yang lebih kuat dibanding dengan
rangsangan kimiawi dan rangsangan mekanis.
DAFTAR PUSTAKA
Djamhur,
W. 1985. Fisiologi Hewan. Jakarta :
Universitas Terbuka.
Campbell Neil A. Dkk. 2004. Biologi Edisi
Kelima Jilid III. Erlangga :Jakarta.
Widiastuti,
E.L. 2002. Bahan Ajar Fisiologi Hewan 1.
Bandar Lampung :Universitas Lampung
Tim Penyusun.2011. Penuntun
Praktikum Fisiologi Hewan. Universitas Lampung:
Bandar Lampung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar